September 6, 2018
Papua
Bime, Masih Indonesia!
“Namun bagiku, ujian pertama dalam perjalanan adalah pembuktian kesabaran”
Titik Nol – Agustinus Wibowo
Take-off pesawat di Lapangan Terbang Bime (Dokumentasi Pribadi) |
Sebagai seorang mahasiswa, momen seremoni semacam upacara memperingati kelahiran republik sangat jarang dilakukan. Tapi kali ini, betapa beruntungnya diriku. Sebab sehari sebelum peringatan tahunan ini dihelat, kami datang menggunakan pesawat jenis caravan yang hanya muat 9 penumpang. Penerbangan kami tiba setelah menunggu sekian hari. Distrik Bime adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Pegunungan Bintang. Di daerah tingkat satu ini, serta beberapa daerah tetangganya, diakses hanya melalui jalur udara. Di setiap distrik (baca: kecamatan) pasti ada lapangan terbang yang hanya muat untuk pesawat-pesawat kecil yang datang langsung dari Jayapura, lalu ketika pulang bahkan kadang harus singgah di distrik sebelah untuk mencari penumpang, layaknya angkot kalau di kota-kota.
Kedatangan pesawat membuat anak-anak yang bermain di lapangan terbang Bime segera menyingkir. Orang-orang yang datang dari berbagai desa (disini disebut/setara dengan kampung) bergerombol layaknya keramaian di pasar malam, sekedar ingin mencari hiburan. Kalau beruntung, terselip nama mereka pada barang-barang bongkar muat yang dibawa pesawat. “Kiriman raskin dan supermi itu” kata mereka, merujuk pada beras dan mie instan kiriman keluarga mereka di kota.
Ada cerita lucu ketika pertama kali kedatanganku. Warga yang berkerumun di luar pesawat bergosip ria tentang siapakah gerangan Kaka’ yang rambutnya panjang itu. Rambutku yang kubiarkan terjuntai memang sering dikira rambut wanita, warga Bime juga mengira demikian. Tapi kekecewaan mereka cepat sekali datang setelah aku turun dan mereka tidak menemukan tonjolan di dadaku. Kata mereka, karena aku tidak berbuah dada makanya mereka langsung mengerti kalau aku seorang lelaki. Kelak Itu kudengar dari seorang gadis kelas 2 SD bernama Apioka.
Pesawat kembali terbang, ditonton sebagian kerumunan warga yang masih terkesima walaupun setiap minggu melihat beberapa pesawat datang dan pergi. Sebagian lagi bisik-bisik bertanya tentang kehadiran kami. Mungkin karena trauma masa lalu terhadap pendatang yang hanya sekedar lewat, datang tanpa memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada masyarakat, ditambah sulitnya akses ke daerah mereka, menambah rasa penasaran itu. Untungnya kedatangan kami telah ditunggu oleh seorang teman yang sudah disana beberapa minggu sebelumnya. Kami diajak memperkenalkan diri ke masyarakat, menjelaskan maksud kedatangan kami guna ikut dalam membantu-bantu proses belajar-mengajar di sekolah, khususnya Sekolah Dasar. Sayangnya kehadiran kami tidak lama, hanya dua minggu.
Masih sekitar pukul 2 siang di hari kedatangan, kami berbincang-bincang dengan beberapa orang penting kampung, lanjut sedikit beristirahat sambil menyesuaikan kondisi lingkungan disana.
—
Futsal dilapanga tanah khas pegunungan (Dokumentasi Tim Bime) |
Sore hari selepas tidur siang singkat, masih dengan kepala yang pusing akibat jetlag, kulihat pemuda-pemudi sudah ramai di lapangan kantor distrik yang dekat sekali dari kediaman kami. Sehari sebelum peringatan 17 Agustus, mulai diadakan lomba futsal dan voli se-distrik. Laki-laki dan perempuan bertanding dalam kategorinya masing-masing. Betapa terkejutnya, bahwa tendangan perempuan-perempuan Papua begitu kuat layaknya tendangan pemuda lain. Padahal lomba futsal tidak dipertandingkan di lapangan bagus seperti di kota-kota dengan biaya sewa perjam yang lumayan. Melainkan lapangan tanah yang becek akibat genangan hujan yang turun tiap harinya ketika sore hari menyapa. Sebagian besar dari mereka yang tidak menggunakan alas kaki, tidak kalah keras dengan kombinasi tanah berbatu ataupun bola sepak yang mereka tendang.
Malam pertamaku di kampung Bime kuhabiskan dengan istirahat. Ditemani hawa dingin khas pegunungan, dan temaram lampu yang tidak begitu kuat menyala akibat terbatasnya pasokan listrik dari PLTA yang hanya datang saat malam. Satu-satunya PLTA disana, itupun baru selesai diperbaiki dua hari sebelum kedatangan kami, makanya hari-hari selanjutnya tidak begitu menyeramkan dan menyusahkan. Tapi jaringan telepon, sinyal hp seterkenal telkomsel pun tidak ada. Komunikasi kami ke dunia luar mungkin akan tertutup seandainya tidak ada telepon satelit yang kami bawa dengan harga pulsa yang mahal minta ampun.
—
Suasana Upacara 17 Agustus (Dokumentasi Tim Bime) |
Hawa dingin ternyata tidak pergi-pergi sampai keesokan hari. Lapangan kantor distrik dijadwalkan akan melaksanakan upacara pukul 9, kami baru terjaga pukul setengah 9. Bergegas kami berganti pakaian tanpa perlu mandi, mengikuti kebiasaan masyarakat. Buat apa mandi dengan bersusah payah melawan dingin air hasil tampungan hujan yang menusuk sampai ke tulang. Apalagi tidak ada bau dan keringat yang tubuh kami produksi.
Dari beranda rumah panggung kayu yang kami tinggali, belum ada tanda-tanda keramaian di lapangan upacara. Padahal setelanku sudah lengkap dengan amunisi action-cam untuk mengabadikan momen langka ini.
Setengah jam menunggu, sambil menyapa siapa saja yang lewat di depan rumah yang kebetulan menjadi salah satu jalan utama menuju lapangan. Kami diajari ucapan selamat pagi yang disana diucapkan dengan kata “Telebe”.
Dengan percaya diri sejak pagi itu dan pagi-pagi selanjutnya kami menyapakan Telebe dengan siapa saja yang kami temui di jalan, walaupun kadang juga tetap dengan kata selamat pagi-nya Indonesia.
Rombongan perangkat pemerintah datang, disusul para pendatang yang mengabdi sebagai penyuluh pertanian dan tenaga kesehatan, lalu rombongan siswa SD yang imut dipimpin pak Gurunya. Warga sudah berkumpul di sekitar lapangan, tapi entah mengapa tidak ikut kedalam barisan. Mungkin upacara semacam ini hanya sekedar selebrasi seremonial yang diwajibkan kepada aparatur negara yang bersetelan rapi saja.
Penyuluh pertanian asal Jatim menjadi pemimpin upacara yang diinspekturi oleh Sekretaris Distrik menggantikan kepala Distrik yang belum pernah kembali ke tempatnya bekerja. Para nona bidan yang berasal dari Sulawesi Selatan dan Tenggara bertugas sebagai pembaca UUD 1945 dan protokoler.
Panjat Pinang (Dokumentasi Tim Bime) |
Upacara bendera yang khidmat di pinggiran ibu pertiwi, tepat disebelah Papua Nugini. Dengan komposisi pelaksana upacara dari berbeda pulau, tidak membuat seremoni terganggu. Malahan, dipinggiran negara tanpa disentuh tangan negara, Indonesia kurasa tidak hadir secara fisik lagi namun sudah melekat dalam setiap hati masyarakat yang tinggal disini, tinggal di Bime yang masih bagian Indonesia.
—
Lomba Memanah (Dokumentasi Tim Bime) |