December 27, 2016
Java | Memoar
[Part I: Cerita Bonggol]
“Biarkan aku saja yang merasakannya, kalian jangan. Dengarkan dengan seksama apa yang kuceritakan, cukup dengarkan dan petik hikmahnya”
-Anonim
—
Perjalanan terus berlanjut. Mempertemukanku dengan banyak sekali keluarga baru. Orang-orang baru, dari latar belakang yang benar-benar baru. Aku hanya berbeda beberapa tahun saja, atau mungkin beberapa bulan. Sedikit pengalaman jam terbang yang kupunya setidaknya harus bermanfaat untuk kalian.
Sebuah titik dimana 5 hari 4 malam kita habiskan bersama, 27 punggawa Arutedja. Arutedja yang berasal dari 3 kata sanskrit yaitu ardi, utyana dan tedja yang berurutan berarti gunung, hutan dan cahaya. Secara filosofis (penulis), Arutedja berarti cahaya yang menyinari alam raya. Arutedja yang bersinar terang di kawasan Gunung Lawu dalam seminggu terakhir mengantarkanku bertemu dengan keluarga baru (lagi).
Titik itu bermula kala hari minggu dimana seharusnya ulangtahun kampus kami rayakan, namun kami diwajibkan mengikuti sebuah rangkaian guna mengikat benang-benang yang terpisah. Pengikatan benang-benang itu dimulai dengan pembagian nama lapangan kepada kami, yang dilanjutkan dengan sesi games-games yang melatih kekompakan. Sayang, kami yang awalnya berjumlah 28 biji harus berkurang sebiji karena suatu hal.
Maka 27 biji (biji: merujuk nama lapangan kami yang berhubungan dengan tumbuhan, entah apa artinya) dari kami memulai petualangan dan berkumpulkan mengatur strategi bersama didepan ikon kampus, Gedung Rektorat. Strategi yang picik tentu saja, yang tidak akan diceritakan disini, namun sangat membantu untuk keberlangsungan hidup kami kelak (dilapangan) wkwkw.
Setelah serangkaian screening peralatan yang menghasilkan ribuan hukuman karena keteledoran bersama, akhirnya kami mulai berangkat pukul 4 sore menuju lokasi menggunakan truk.
Sekitar pukul 9 malam truk berhenti, petualangan kami untuk 4 malam 5 hari kedepan dimulai.
[Malam Pertama]
Sial, memori jangka pendekku yang jelek mengharuskan ku terus meraba-raba kalimat laporan yang harus terus diteriakkan di malam pertama. Malam yang tidak kusenangi. Perjalanan yang super jauh diiringi kerasnya badai yang terus berembus, ditambah kalimat-kalimat tidak penting yang tak kunjung berhasil kuhapal dalam kesempatan pertama. Akhirnya entah pukul berapa saat itu, saatnya berhenti dan mempersiapkan bivak dan makan malam.
Duh, ternyata tidak satupun dari kami telah menunaikan ibadah. Setelah bivak jadi, dan makanan setengah matang dan mentah kami lahap, kuposisikan diriku dalam posisi senyaman mungkin menghadap keatas dan mulai memejamkan mata. Hei, sudah kubilang kan sebelumnya, aku belum beribadah. Kupaksakan diriku membuka kelopak mata dan mulai bertayammum. Allahu Akbar, Allahu akbar. Kumulai tiga rakaat sholat magrib dan 2 rakaat sholat isya, namun belum selesai salam, sepertinya kesadaranku menghiilang. Kubangun lagi, bertayammum lagi, Allahu Akbar, kesadaranku hilang lagi. Entah hampir tiga kali kulakukan hal yang sama, bahkan sampai harus terbawa ke alam mimpi. Namun entah selesai atau tidak selesai, aku sudah terbangun kembali dalam keadaan langit yang sudah membiru terang. YaALLAH ampunilah hamba-Mu jika malam itu kulewatkan tanpa beribadah hingga selesai.
[Hari Kedua]
Karakter-karakter teman yang selama satu semester belum terlihat akhirnya terlihat hanya dalam waktu semalam. Hebat betul si alam, membuka seluruh jeruji-jeruji yang masing-masing orang tutupi dari orang lain. Alam memperlihatkanku, karakter-karakter kami yang ada di dalam tim semalam. Mulai dari diriku yang entahlah kulihat seperti apa, namun kuartikan sendiri bahwa “Sangat Sensitif ketika Baru Bangun Tidur”. Ada juga yang ternyata cerewetnya setengah mati, ataupun dia yang masih egois membantu mengurangi beban yang ada didalam tas teman (tidak peka lah ya).
Sejak pagi, kabut terus terkonsentrasi, sangat pekat. Padahal materi yang kami jalani dihari ini adalah Navigasi Darat. Kami harusnya menembak objek-objek disekitar dengan kompas dan memperhatikan sekeliling, sayang, kabut begitu tidak berbaik hati. Akhirnya kami hanya diberi tahu posisi yang harus kami plotting dan melanjutkan perjalanan dengan mengikuti pendamping.
Yang kusuka hari ini adalah tidak perlu mengeluarkan energi terlalu banyak untuk menghapal remeh temeh kalimat laporan yang masih sulit kuteriakkan. Cukup ikuti pendamping, hapal jalur apa saja yang telah dilewati, tedeng, selesai, cukup mudah. Ya walaupun harus dihukum beberapa kali karena beberapa barang harus terjatuh di tempat-tempat yang tidak kami kira.
Perjalanan selesai tepat ketika adzan magrib berkumandang. Langkah kami cukup santai karena salah satu dari tim kami mengalami cedera pada tempurung lutut kanannya. Ditambah diareku yang mulai memaksa untuk dikeluarkan. Tim di hari ini yaitu orang-orang yang berbeda dari tim sebelumnya, berisi 2 biji jantan yang membuat bivak dan 4 biji betina yang berkutat dengan bumbu dapur. BIvak selesai, mie instan juga selesai.
Sebenarnya banyak sekali bahan makan yang diberikan kepada kami. Kami diberi persediaan untuk makan tiga kali. Malam ini, besok pagi dan siang. Kami disuruh memasak untuk makan siang sekaligus dengan alasan akan berjalan sangat jauh esok hari, yasudah besok pagi saja dipikirkan. Tapi karena paraffin yang sangat sulit terbakar, sehingga malamnya kami memutuskan untuk bersantap hanya dengan mie instan plus mie dan sedikit sayur. Itu saja telah menambah daya dorong lambungku untuk mengeluarkan isi-isinya.
Kuputuskan mengeluarkan isi lambungku persis ketika adzan subuh terdengar dari bivak kami yang berdesakan. Gila aja, sesak sekali bivak yang kami buat. Kesesakan itu yang menghambatku untuk buang air ketika malam masih panjang, susah untuk bergerak. Hingga akhirnya adzan subuh berkumandang dengan syahdu, menemaniku mengeluarkan apa yang bisa kukeluarkan, mumpung masih gelap dan tak dilihat oleh orang-orang. Buang air besar pertamaku. Lega rasanya, dugaanku untuk dapat melanjutkan perjalanan dengan tenang semoga benar.
—
Lalu apakah dugaanku akan ketenangan perjalanan selanjutnya benar? Lalu perjalanan panjang seperti apa yang esoknya dijalani? Apakah tidak ada babi seukuran mio yang kami temui? Hahaha maap-maap intinya tunggu aja Part II nya.
Bersambung.