May 15, 2018
Java
Menghangatkan Diri – Berlatih Camp Craft
Camp-craft |
Ingatanku jatuh ke akhir tahun 2016. Kala itu ketika pendidikan dan pelatihan dasar ku di organisasi pencinta alam fakultas, GEGAMA. Fokus ke hari itu, kami berempat, aku, Randu (yang kini jadi ketua umum), Kandes (yang kini memilih jalan berbeda, keluar), dan Pinus terbangun pagi-pagi karena grusak-grusuk ku kebelet buang air besar yang kesekian dalam diklatsar tsb. Teriakanku menyebut golok, mencari disekitar bivak kami yang hanya terbuat dari dua buah ponco yang tidak terlalu bagus. Kami mulai berpuasa sejak semalam dipersatukan menjadi sebuah tim survival. Pikirku saat itu, survival adalah berpuasa, menahan makan.
Menjaga api tetap menyala Hindari penggunaan daun karena dapat menutupi bara. Ranting yang digunakan yang kering dan mulai dari yang kecil kemudian makin membesar |
Siangnya kami diberikan korek api beberapa biji dan sebuah lilin untuk membuat api. Aku blank, tidak tahu akan berbuat apa. Efek puasa itu mungkin, belum makan dan minum (seperti biasa), terlebih lagi ketika dulu praktek pra-diklatsar tidak datang ketika materi pembuatan api. Kami hanya memanfaatkan api kecil dari lilin untuk membagi kehangatannya kepada kami berempat.
Sekarang (right here, ringht now) aku hanya bisa tertawa membayangkan kembali kenangan itu, betapa tidak mengertinya kami materi membuat api. Atau jangan-jangan materi yang senior-senior kami saat itu punya juga belum memadai untuk mentransfer ilmu membuat api?
(Karena ketidakhadiranku saat meteri itu, menjadikan ketidaktahuanku apakah ada materi membuat api unggun?)
Kembali ke Diklat Gunung Hutan Tim Mandala Festival Puncak Papua
Selain ilmu pergerakan, Navigasi Darat, kami juga diajarkan (dan belajar dari memperhatikan) banyak ilmu lain terkait gunung dan hutan. Teknik komunikasi melalui Handy Talky (HT) ke regu lain atau laporan harian ke sekre 155 Wanadri melalui Single Side Band (SSB), Zoologi dan Botani Praktis (ZBP) yang menyadarkan bahwa survival bukanlah sekedar puasa, serta materi Camp Craft atau seni pemondokan di alam bebas seperti pembuatan api, shelter atau bivak, dan tata cara pemilihan lokasi.
Pemasangan flysheet |
Seperti yang kusebutkan sebelumnya, survival sendiri merupakan seni bertahan hidup dengan memanfaatkan apa yang ada disekitar, jangan sampai kekayaan yang ada di alam membuat kita berpuasa. Pembuatan trap guna memenuhi kebutuhan protein, analisis peta dan medan untuk mencari sumber air yang paling dibutuhkan tubuh, juga pemilihan dan pengolahan tumbuh-tumbuhan hutan yang dapat dimanfaatkan sebagai pengganjal isi perut. Walaupun dalam diklat-diklat kami tidak sepenuhnya berpuasa ataupun mempraktekkan ZBP secara betul-betul, tapi perkenalan kami cukup memberi kesan. Mengolah minimal lima jenis tumbuhan yang dapat dikonsumsi agar racun-racun yang terkandung satu sama lain dapat ternetralisir, tentu masih ditemani dengan nasi. Mengumpulkan air dari hujan deras yang mengguyur, yang walaupun telah dimasak dan dicampur energen tetap saja rasanya aneh. Dan beberapa percobaan yang mungkin kulupa.
Setiap sore, sesuai kesepakatan, pukul empat sore kami harus menghentikan pergerakan untuk segera mencari lokasi yang tepat untuk mondok. Ketika kami sepakat dimana titik yang akan kami gunakan, segera kami berbagi tugas agar segalanya dapat berjalan cepat dan efisien sebab waktu kami hanya sekitar dua jam sebelum senja benar-benar menghilang digantikan gelap.
“Tenda” kami siap digunakan Bukan menggunakan tenda dome |
Jobdesk pertama adalah pembersih area, dengan menggunakan tramontina membuka semua belukar yang kiranya menghalangi tempat yang nanti akan kami gunakan beraktivitas seperti tidur, memasak, briefing bersama api unggun atau sekedar mondar-mandir. Dulu ketika masih seleksi akhir di Kareumbi, kupikir pohon-pohon yang menyesuaikan keberadaan kami, sehingga tebas saja semua pohon apapun jenisnya. Namun ternyata kami-lah yang harus menyesuaikan, terutama terhadap pohon-pohon utama walau masih kecil atau remaja. Jika sekedar perdu dan rumput yang mengganggu, libas saja, toh dalam beberapa minggu mereka akan segera kembali seperti semula. Tapi tetap bijak ya.
Libas-melibas ini yang dulu selalu terbayang dipikiranku. Tentang tanaman-tanaman yang harusnya tidak boleh di sabet sesuka hati, namun mengganggu jalan dan pergerakan. Hingga akhirnya kuberpikir, setidaknya bukan pohon-pohon utama yang entah masih kecil atau remaja yang kami tumbangkan, toh jika hanya perdu dan rumput yang cepat sekali tumbuh kenapa harus dibiarkan. Alam akan segera kembali membesarkan mereka, bahkan akan lebih besar ketika kita kembali ke tempat yang sama kelak (saking lamanya untuk ke tempat yang sama lagi). Masih dengan bijak juga ya.
Jobdesk selanjutnya, biasanya orang yang sama setelah area clear dari belukar dan sudah dapat digunakan, yaitu pemasang flysheet. Oiya, dalam kegiatan jelajah hutan semacam ini, tentu saja sangat merepotkan jika harus menggunakan tenda dome. Selain beban nya yang cukup berat, tentu saja sangat rawan sobek ketika digunakan walaupun area telah dibersihkan. Area yang bersihpun tidak sepenuhnya bersih, tentu saja akar-akar dan batang kecil yang masih ada di tanah dapat menjebloskan floor tenda dome. Maka flysheet dipasang dengan pasak-pasak pohon kokoh yang berjarak cukup untuk semua tim mendapat posisi enak ketika tidur nanti yang hanya beralaskan matras. Pemasangan flysheet ini sebisa mungkin dapat sebagus dan seberfungsi mungkin dalam sekali proses pemasangan tersebut. Kelak ketika angin dan hujan tetiba muncul sangat kencang dan deras, kita tidak perlu lagi bersusah-susah, berbasah-basah untuk membetulkan sebab sudah berdiri dengan kokoh dan sempurna. Jangan lupa parit jika khawatir air dapat melewati dan menggangu.
Yang pertama kali diolah setelah air panas, yaitu beras |
Jobdesk lain yang tidak kalah penting yaitu masak. Biasanya daerah masak dapat lebih dulu dibentuk sebelum kemah flysheet, sebab logika tidak akan berjalan dengan baik jika tidak didukung logistik, yang tentu saja membutuhkan waktu hingga siap disantap bersama di malam hari. Tim dapur ini juga mendukung pembuatan konsumsi minuman hangat yang dibutuhkan ketika cuaca mulai men-dingin.
Ketika api unggun telah berkobar tanpa perlu dijaga lagi |
Jobdesk utama lainnya yaitu pembuat dan pencari kayu bakar. Jobdesk ini biasanya minimal dilakukan oleh dua orang yaitu pembuat dan penjaga api, ditemani pencari kayu bakar sesungguhnya, kayu bakar yang besar-besar dari batang-batangan pohon yang sudah tumbang.
Pembuat dan penjaga api akan mengumpulkan ranting-ranting kecil sebanyak mungkin agar api yang diperoleh dari pemantik seperti sampah plastik, karet ban atau paraffin dapat tumbuh terus-terusan hingga dapat membakar kayu batang pohon yang lebih besar. Ketika kayu bakar dari batang yang besar sudah dapat terbakar, itu artinya api tidak perlu terlalu dijaga, cukup menumpukkan batang-batang besar lain ketika kobaran api dirasa kurang menghangatkan. Kobaran api unggun ini selain untuk menghangatkan tubuh dari cuaca malam yang dingin, juga dapat mencegah hewan buas mendekat, membantu mempercepat proses dekomposisi batang tadi, terlebih lagi dapat dijadikan bahan bakar untuk memasak (nasi dan air contohnya).
Bahan bakar api unggun dari batang-batang pohon yang bertumbangan |
Pencari kayu bakar satunya, akan berkeliling disekitar area untuk mencari pohon-pohon yang sudah tumbang lantas kemudian dipotong-potong. Ingat, kami menggunakan batang pohon yang sudah tumbang, bukan dari pohon yang masih berdiri kokoh. Pernah ketika seleksi akhir (lagi, di Kareumbi), kukira ribut-ribut dentuman golok dari arah camp craft panitia yang tidak terlalu jauh dari tempat kami adalah dentuman yang ditujukan ke pohon-pohon utama yang masih berdiri kokoh lantas ditumbangkan dan dipotong guna memenuhi kebutuhan kayu bakar. Ternyata prasangka burukku salah.
Bersambung