Memaknai 22 Tahun Kehidupan
Dua tahun lalu, diawal semester perkuliahan keduaku. Kutulis “Kepala Dua, Lalu Apa?“. Pertanyaan itu sebenarnya masih menghantuiku. Namun entah mengapa setiap narasi yang berputar diotakku seolah sedikit demi sedikit menemui realita. Walau tentu saja lebih banyak yang gagal lahir ke dunia.
Otakku terus berputar, mengolah apa saja informasi yang sekiranya bermanfaat. Lalu menghembuskannya ke dalam kalbu, tersentak hingga ke hati, lalu menghampiri gerak-gerik jiwa. “Pragmatis sekali bapak ini”, kata wanita yang akhir-akhir ini ku kagumi kinerja dan pemikirannya. Oke, ini bukan tentang wanita itu. Tulisan ini masih tentangku, toh mungkin aku harus mencari tahu sejauh apa perasaan ini kepadanya. Hufft, realitanya dia sudah mempunyai pasangan.
Kembali tentangku.
Mungkin benar, kata pragmatis adalah kata yang cocok untukku. Dalam KBBI, pragmatis berarti sesuatu yang bersifat praktis dan berguna untuk umum, menghasilkan kebermanfaatan. Kurasa yang bersarang dalam otak dan onak ku sejak beberapa tahun ini, pragmatisme, yang kemudian beberapa waktu belakangan diterjemahkan dalam bentuk kata lain, kontekstual.
(Lagi) Dalam KBBI, kontekstual berarti sesuai dengan konteks. Kontekstual yang akhir-akhir ini kusinggung adalah pembelajaran kontekstual. Menurut Mawardi, pembelajaran berbasis kontekstual menghadirkan situasi dunia nyata dan mendorong terbentuknya hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bagiku, pendidikan harusnya dapat membantu kehidupan seseorang. Buat apa berpendidikan tinggi-tinggi, jika nantinya akan meninggalkan rumah tempat kita dibesarkan tanpa menengok barang sejenak. Orang-orang yang dulunya besar dan dibesarkan di desa, kemudian merasa bahwa mereka harus hidup lebih baik dengan cara meninggalkan desa itu. Mencari penghidupan dan penghasilan lain yang menurut mereka jauh lebih layak.
Akhirnya, orang-orang yang tersisa di sebuah desa hanyalah orang yang “tidak berpendidikan”. Tidak ada lagi yang ingin menggarap sawah, yang katanya pekerjaan yang berat, akibat tidak ditekankannya pembelajaran kontekstual terkait sumberdaya di desa. Padahal dengan “pendidikan”, hasil-hasil pertanian harusnya dapat didekati dengan teknologi dan ilmu pengetahuan. Mencipta produktivitas yang lebih baik, keuntungan dan kesejahteraan untuk semuanya. “Pendidikan” dan “ilmu” yang terlampau sakti itu, tidak dapat mereka terapkan dalam kampung halaman. Ya sekali lagi, begitulah jika melupakan nilai kontekstual.
Tanpa sadar, ke-pragmatisan dan kontenkstualitas yang kubangun membawaku memilih untuk mencoba mengabdikan diri ke kampung halaman. Dengan membentuk tim KKN Sailus di pulau kecil di Kecamatan Liukang Tangaya sana. Kecamatan yang masih masuk daerah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan namun lebih dekat dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat, kurasa menjadi awal dari kepulanganku kembali ke daerah asal. Apalagi pembahasan awal terkait tema, begitu hati-hati kami diskusikan agar cocok dan sesuai dengan apa yang masyarakat sana butuhkan. Harus kontekstual kan?
Ada beberapa hal yang menjadi poin keputusanku untuk kembali ke daerah asal. Pertama, aku merasa sudah terlalu lama, 7 tahun, meninggalkan kampung halaman untuk mencari ilmu dan menjelajahi pulau seberang, pulau Jawa dan sempat sekali ke Papua (alhamdulillah gratis). Membuatku rindu dan ingin kembali ke rumah.
Kedua, pemilihanku memilih wilayah Sailus di kawasan kepulauan tengah nusantara adalah hasil uji batin antara ego dan pragmatisme. Sebagai seorang anak geografi dan aktivis pencinta alam, isu kawasan karst lebih banyak terdengar disekitar. Bahkan pemilihan divisi panjat tebing dalam organisasi mapalaku berdasarkan egoisme agar dapat mewujudkan mimpi yang dari kecil selalu terbayang, seorang pemanjat. Juga untuk mempelajari karst lebih lanjut. Memang, Pangkep adalah negeri dengan tiga-dimensi dengan gugusan perbukitan menara karst, dataran yang subur, dan luas bentangan pulau-pulau kecilnya. Pilihanku ada 2 untuk kembali ke Pangkep. Ingin ke daerah karst yang begitu eksotis bagi kaum geograf dan pencinta alam, ataukah mencoba melirik pandang saudara yang masih belum tersentuh di kepulauan yang jauh sana?
Akhirnya, kata-kata kak Rahmat terbang jauh melampaui waktu. Ataukah mungkin kami saling beresonansi dan sama-sama memilih kepulauan sebagai wadah pengabdian? Dulu, saat kutanyai kebingungan terhadap kebermanfaatan, beliau berkata “Pikirkan lagi, kira-kita yang mana menurutmu lebih bermanfaat.” Btw kak Rahmat ini sudah selalu ku mention di tulisan-tulisanku sebelumnya. Selalu menjadi Role-Model ku dalam pengabdian tanpa pamrih.
Berkat program The Floating School yang mereka (bersama istrinya) karyakan, membuat lebih banyak orang mulai mengetahui keberadaan pulau-pulau nun-jauh sana.
Awalnya, banyak dari kalangan dekatku menyayangkan mengapa harus ke wilayah yang begitu jauh, pulau dengan waktu tempuh 3 hari dari Pangkep. Namun faktanya, disitulah pusat permasalahan yang orang-orang tidak pernah mampu benahi.
Ada sesuatu yang aneh, dimana orang darat (daratan utama Sulawesi) dikirim ke kepulauan dengan kondisi keluarga berada di darat. Alhasil, sebagian besar dari mereka memilih mangkal tidak ke pulau dan hanya menghabiskan gaji bulanan bersama sanak family. Lalu apa kabar mereka yang membutuhkan tenaga pengajar dan kesehatan disana? Kabar sumberdaya dengan potensi yang begitu menarik siapa yang kelola tanpa ada pemberdayaan dan pembekalan kepada masyarakat asli yang kehidupannya di kepulauan?
Lalu, siapa lagi yang ingin mengabdi ke kepulauan antah berantah sana, jika melirik saja mereka tidak berkenan?
Terakhir, kemana makna sila terakhir dalam ideologi negeri?
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” termasuk yang berada di tengah-tengah Indonesia sana.
Mohammed Ikkikay
Bulaksumur, Jumat 16 November 2018
di Kampus Geografi UGM
di ruang kerja nyaman kata orang
Sumber:
https://kbbi.web.id/pragmatis
https://kbbi.web.id/kontekstual
Mawardi, Imam dan Imron. MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN SOFT SKILLS SISWA. Tersedia: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=396641&val=5247&title=MODEL%20PEMBELAJARAN%20KONTEKSTUAL%20UNTUK%20MENINGKATKAN%20SOFT%20SKILLS%20SISWA . Diakses pada 16 November 2018 pada pukul 02.31 WIB.